Minggu, 01 Desember 2013

Memaksimalkan KF dengan "PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL BERBASIS MASALAH"

PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL BERBASIS MASALAH

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Bahasa Indonesia Keilmuan
yang dibina oleh Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd 

Oleh:
Auliya Aziza  
120141411477




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
April 2013




BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Dewasa ini, buta aksara di negara kita ini, Indonesia, semakin meningkat. Buta aksara ini tidak hanya di alami masayrakat yang berada diluar Pulau Jawa  yang jauh dari pengawasan para menteri yang ada di Ibu Kota, tapi juga dialami oleh masayrakat yang berada di luar Jawa. Diungkapkan Kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan (Disdik) Pamekasan Halik bahwa jumlah warga buta huruf di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur mengalami peningkatan. Sesuai dengan di data Dinas Pendidikan setempat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah buta huruf mencapai 60.972 orang dari sebelumnya hanya 33.436 orang (LENSAINDONESIA.COM, 2013).
Keaksaraan Fungsional adalah sebuah usaha pendidikan luar sekolah dalam membelajarkan warga masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki mampu menulis, membaca dan berhitung untuk tujuan yang pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, untuk peningkatan mutu dan taraf hidupnya (Jurnaltugas.blogspot.com, 2013). Jadi, Buta aksara dapat diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk membaca dan menulis, dan buta aksara ini akam mengantar seorang individu ataupun masayrakat ke sebuah ketertinggalan. Sebab membaca dan menulis adalah dasar dan merupakan salah satu kunci untuk memperoleh pengetahuan dan informasi.
Keterbatasan dalam ilmu dan informasai ini membuat masayrakat sering kali mendapat masalah mulai dari hal kecil sampai hal besar, mulai dari kebodohan, ketertinggalan informasi, ekonomi, kemiskinan hinggai terjerat hukum. Seperti kasus yang dialami Mbok yang ditayangkan pada berita Liputan6.Com pada akhir bulan Desember 2009, bahwa Minah petani asal Banyumas Jawa Tengah, nenek tua terjerat hukum karena beliau mengambil tiga buah kakao yang jatuh, dari pohonya untuk dijadikan bibit. Namun beliau dilaporkan oleh mandor yang mengetahuinya. Dan akhirnya belaiu sampai di meja hiaju dan dijatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari. Mbok Minah Yang buta aksara dan tidak mengerti hukum sehingga beliau terjerat hukum(Liputan6/Youtobe.Com, 2009).
Salah satu cara memberantas buta aksar adalah dengan keaksaraan funsional. Pemerintah memberikan dana dan juga membuat program-program melalui LSM ataupun melalui dikti. Buta aksara harus diberantasa guna menjalankan tujuan pemerintah dan UUD seperti yang tertera dalam pembukaan UUD pada alenia ke 4 yaitu “...mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Serta sesuai UU Sisdiknas RI Nomor 20 Tahun 2003 yaitu pada Bab II, Pasal 3. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut: pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain sebagai tujuan buta aksara adalah salah satu penentu dalam keberhasailan suatu bangasa. Sebab buta aksara salah satu indikator pembagunan sumber daya manusia/ indek pembangunan manusia (PMI).
Keaksaraan fugsional adalah salah satu cara memberantas buta kasara. Sebab buta aksara adalah suatu cara atau pendekatan untuk membantu dan mengembangkan kemampuan warga belajar dalam menguasai dan ketrampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari, dengan memanfaatkan potensi pengalaman yang dimilki oleh pesetra didik. Namun keaksaraan fungsional yang dewasa ini diberikan oleh LSM saat ini belum maksimal dan merata beberapa daerah tingkat buta aksara masih tinggi dalam sebuah media masa (JPNN.COM, 2013) menuliskan di daerah Cimahi, buta aksara di Kota Cimahi mencapai 3.000 orang sesuia dengan diungkapkan. Ketua Forum Keaksaraan Jawa Barat, Tita Sutarsih menyebutkan, “tidak hanya di Kota Cimahi, penambahan jumlah buta aksara di daerah lainnya pun sama. Seperti di Kabupaten Tasikmalaya, pada tahun 2009, jumlah buta aksara sekitar 8.000, dan tahun ini naik dua kali lipat menjadi sekitar 16.000 orang. Hal ini menunjukan bahwa keaksaraan fungsional yang dilaksanakan belum maksimal” (JPNN.COM, 2013).
Kegagalan keaksaraan fungsional ini disebabkan beberapa faktor yaitu kurang  yaitu faktor ekonomi, faktor pemikiran masayrakat tentang keaksaraan funsional yang diangap tidak bermanfaat dan ketidak cocokan metode yang digunakan oleh pendidik atau tutor dalam melaksanakan keaksaraan fugsional tersebut. Untuk dapat memaksimalkan keaksaraan fungsional ini dapat menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaraan berbasis masalah adalah suatu pembelajaraan dimana peserta didik dituntut untuk belajar melalui cara menyelesaikan masalah yang dialami secara kritis dan mandiri. Menurut Barrows & Kelson (dalam  Riyanto : 2010: ) menuliskan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri, dan menuntut ketrampilan berpartisipasi dalam tim yang dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan. Pembelajaran berbasis masalah ini betujuan agar keaksaraan funsional dapat mengatasi masalah dari buta aksara selain memberantas buta aksara itu sendiri seperti ketertinggalan informasi ilmu dan penyelesain masalah yang dihadapi yang dialami dengan menerapkan langsung masalah-masalah tersebut.

B.       Rumusan Masalah
1.             Bagaimana hakikat dari Keaksaraan Fungsional?
2.             Apa saja masalah dalam aplikasi Keaksaraan Fungsional
3.             Bagaimana wujud Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah

C.       Tujuan
1.        Mendiskripsikan hakikat Keaksaraan Fungsional
2.        Mendiskripsikan masalah dalam aplikasai keaksaraan fungsional
3.        Mendiskipsikan wujud Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Keaksaraan Fungsional
Keaksaraan adalah sebuah progaram yang dibuat oleh lembaga pendidikan nonformal seperti PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Program keaksaraan ini dijalankan oleh PLS (Pendidikan Luar Sekolah) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyrakat). Program keaksaraan dulunya dikenal sebagai PBH (Pemberantasan Buta Huruf) Progaram keaksaraan dibuat unutuk memberantas buta huruf dari masyrakat. Buta aksara di atrikan sebagai ketidak mampuan untuk membaca, menulis dan menghitung (calistung). Moedzakir (2010:31) mengartikan “Keaksaraan sendiri adalah sebuah program pemberantasan buta huruf atau dulunya disebut lebih dikenal dengan PBH (Pemberantasan Buta Huruf)”.  Dari arti tersebut dapat disimpulkan bahwa buta huruf atau buta aksara adalah sebuh ketidak mampuan untuk membaca, menulis dan berhitung huruf latin. Pada program keaksaraan peserta didik diajarkan untuk menggenal huruf latin, belajar membaca, menulis dan berhitung.
Program Keaksaraan sudah ada sebelum masa kemerdekaan oleh seperti promgram pendidikan yang diberikan oleh para penjajah seperti sekolah rakyat. Pada masa awal kemerdekaan keaksaraan merupakan salah satu program nasional sehubungan dengan kenyaataan bahwa sebagian masayrakat indonesia pada waktu berda pada kondisi buta huruf, lebih khusunya masayrakat menegah kebawah. Progaram ini merupakan garapan yang sangat besar dan serius dilaksanakan. Program ini dijalakan cukup lama mulai dari order lama hingga order baru, hal ini terkait dengan masih tingginya jumlah masayrakat yang masih mengalamin buta huruf. pada masa order  program ini dilaksanakan pad dengan pendekatan kelompok kerja di bawah tanggung  jawab  Pendidikan Masayrakat. Keaksaraan Fungsional pada masa order baru dinaugi Depdikbub (Departeman Pendidikan dan kebudayaan), adanya perubaha struktur  Depdikbud diubah menjadi Direktorat pendidikan Masyrakat dibawah naugan  Ditjen PLSPO (Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Pemudan dan Olahraga). Saat ini program ini masaih dibawah naugan Direktorat Pendidikan Masyrakat  tetapi nama direktorat jendral berubah menjadi ditjen Pendidikan Formal dan Informal (PNFI). Moedzakir (2010:31).
Moedzakir (2010:31) menagungkapkan “Program Keaksaraan saat ini lebih dikenal dengan Keaksaraan  Fungsional atau KF dan di tataran internasional disebut Literacy Program”.  Sesuai dengan namannya perkembangan Program Keaksaraan disisni berkembang lebih lanjut yaitu tidak hanya mengajarkan cara membaca, menulis dan berhitung saja. Sehingga Keaksaraan brkembang menjadi Program Keaksaraan Fungsional, di program ini peserta didik diajarkan untuk melek huruf, dan dapat mengimplimentasikan kemampuanya yang dimilikinya dalam pembelajaraan Keaksaraan Fungsional di kehidupan sehari-hari. Kemampuan dalam membca, menulis, dan menghitung sangatlah berfungsi dan dibutuhkan dikehidupan sehari-hari masyarakat, maka dengan Keaksaraan Fungsional diharapkan kemampuan membaca menulis dan menghitung masayrakat yang telah melek aksara dan diterapkan serta berguna bagi kehidupan sehari-hari.

B.     Masalah dalam Aplikasi Keksaraan Fungsional
Dewasa ini Keaksaraan Fungsional telah berkembang pesat dan di tiap daerah paling tidak terdapat satu lembaga yang mengadakan program tersebut. Namun, semakin berkembangnya keaksaraan Fungsional Aplikasinya semakin mengalami kemunduruan dalam pelaksanaanya. Berbagai masalah timbul didalam pelaksanaan program ini.
Seperti masalah beberapa peserta didik tidak hadir pada pelaksanaan Keaksaraan Funsional, padahal peserta tersebut telah terdata bahwa mengalami buta huruf dan harus mengikuti keaksaraan fungsional. Hal ini disebabkan oleh beberapa pola pandang masayrakat tentang KF sendidri. Adanya pandangan program ini tidaklah diangap memiliki manfaat apapun bagi kehidupan keseharian dan hanyalah membuang waktu. Sehingga muncul pandangan bahwa  kemampuan yang diajarkan tidaklah penting yang penting adalah bekerja saja. Dan pada akhirnya mereka memilih istirahat saja atau bekerja saja daripada harus datang ke acara KF.
Padahal hal tersebut sangatlah salah, karena program keaksaraan Funsional dirancang untuk mengaplikasikan kemamapuan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-hari. Menurut  Moedzakir (2010:170) bahwa pentingnya program Keaksaraan sesungguhnya cukup jelas, dibutuhkan untuk menerima informasi dan ilmu. Pada era informasi seperti saat ini ledakan informasi tengah terjadi sangat dahsyat. Seluruh media menjadi sumber informasi. Surat kabar telah merambah keseluruh plosok tanah air dan televisi telah masuk hampir ke semua rumah. Informasi yang tersebar menggandung suatu wawasan yang akan diserap oleh masayrakat sebagai khalayak penerima informasi. Ketika sesorang dengan wawasan yang luas maka dia akan dapata melakukan sesuatu yang lebih dibandingkan oleh orang yang kurang wawasan.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan pula bahwa  orang yang dapat memahami informasi, dapat melakukan banyak hal yang lebih dalam berbagai hal seprti menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh seseorang. Mulia dari masalah sosial, hukum, politi dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan Moedzakir (2010:170) “dalam waktu yang bersamaan, orang yang berwawasan lebih luas dapat melakukan lebih banyak hal ketimbang yang berwawasan lebih sempit, karena itu dapat dipahami mengapa komunitas yang hidup dalam berbagai keterbatasan kemampuan keaksaraan lebih banyak menyia-yiakan waktu padahal waktu merupakan kesempatan yang sebenarnya berharga. Demikian selanjutnya orang yang berwawasan sempit . Orang yang berwawasan luas tampak lebih produktif ketimbang orang yang berfikir sempit...”.
Pada dasarnya banyak masalah yang dihadapi masayrakat disebabakan mereka ketinggalan tentang suatu informasai dan perkembangan yang ada di masa saat ini, dikarenakan tidak dapat membaca. Seperti kasus yang dialami ole nenek tua yang bernama Mbah. Minah  seorang nenek yang diseret ke mejah hijau lantaran menemukan 3 bauah kakao yang dibawa pulang untuk dibuat bibit, namun dia terjerat hukum kareana hal tersebut sebab pembawaan pulang  buah kakao ini adalah sebagai pencurian, sehingga nenek buta huruf ini mendapatkan hukuman percoban satu bulan limabelas hari. Berita kasaus tentang Mbah. Minah ini adalah salah satu bukti bahwa keaksaraan itu adalah sangat penting dan  sangatlah berguna. Serta hal tersebut telah menujukan bahwa orang yang buta aksara akan tertinggal oleh informasi dan sulit untuk menyelesaikan masalah.
Selain pola pandang masayrakat yang menjadi masalah ketidak maksimalan Program Keaksaraan Fungsionalan ada juga masalah dalam sistem pembelajaran yang dilakukan oleh progremmer atau perancang program tersebut.  Seperti program pembelajaran yang hanya berdasarkan  kelompok belajar (kerja) saja yang akan membuat orientasi setelah keluar dari Program mereka akan hanya bingung dan memilih kerja yang sesuai dengan diajarkan pada Program Keaksaraan Fungsional dan ketika dia tidak menjumpai pekerjaan yang sesuai, sehingga mereka menggangur ataupun bekerja serabutan yang kurang bisa meemnuhi kebutuhan.  Sistem pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan ini membuat kemintan masyarakat terhadap Program Keaksaraan Fungsional.

C.    Keksaraan Fungsional Berbasis Masalah
Berbagai kendala yang dihadapi dalam aplikasi penerapan Keaksaraan Fungsional seperti ketidakhadiran peserta karena anggapan tidak bergunanya Program Keaksaraan Fungsional dan ketidak tepatan sistem pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan belajar dari peserta didik.  Hal ini dapat di selaesaikan dengan adanya Program Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah. Program keaksaraan Berbasis Masalah adalah pemberantasan buta aksara dengan sistem pembelajaran berbasis masalah.
Barrows & Kelson (dalam Riyanto:2010:285) menggungkapkan bahwa “pembelajaran Berbasis Masalah adalah Suatu model pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri, dan menuntut ketrampilan berpartisipasi dalam tim yang dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan sementara Boud & Faletti (dalam Riyanto:2010:285) berpendapat bahwa “suatu pendekatan ke arah penataan pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk menghadapi permasalahan melalui praktik nyata sesuai dengan kehidupan sehari-hari”. Dan Duch (dalam Yatim:2010:285) mengungkapkan bahwa “suatu metode pembelajaran yang memberi peserta didik pada tantangan ‘belajar untuk belajar’ untuk aktif berkelompok dan mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Model ini mengembangkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis “.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan peserta didik dalam memecahkan masalah dengan menghadapkan peserta didik pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran.Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontruktivis. Dalam model pembelajaran ini, guru berperan mengajukan permasalahan nyata, memberikan dorongan, memotivasi dan menyediakan bahan ajar, dan fasilitas yang diperlukan peserta didik untuk memecahkan masalah.
Selain itu guru memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual peserta didik. Prinsip utama pendekatan kontruktivis adalah ilmu pengetahuan tidak dibangun secara pasif (guru menerangkan, peserta didik mendengarkan), tetapi peserta didik dituntut untuk aktif dan berpikir kritis, analitis. Model Keaksaraan Fungsional dengan Basis Masalah adalah dimana peserta didik yang buta aksara diajarkan bagaimana cara membaca, menulis, dan berhitung sesuai dengan  masalah yang dihadapinya, sehingga dia merasa tertarik dan lebih bersemangat dalam melaksanakan kegitan pembelajaran tersebut.
Aplikasi pembelajaran Berbasis masalah dalam Program Keaksaraan Fungsional dilakukan dengan cara pengidentifikasian kebutuhan belajar seperti  masalah yang dihadapi oleh pesertadidik. Sosialisai dan pendekata dilakukan dimulai dari awal perencanaan rancangan program tersebut sehingga peserta didik aktif dan ikut berkontribusi dalam perancangan yang mereka inginkan.
Karatersitik  pembelajaran Berbasis Masalah menurut Rideout (dalam Riyanto, 2010:287) karateristik Pembelajaran berbasis masalah antara lain:
1)      Suatu kurikulum yang disusun berdasarkan masalah relevan dengan hasil akhir pembelajaran yang diharapkan bukan berdasarkan topik atau bidang ilmu dan,
2)      Disediakan kondisi yang dapat memfasilitasi kelompok belajar/ belajar secara mandiri atau kolaborasi  menggunakan pemikiran kritis, dan membangun semangat untuk belajar seumur hidup.
Sedangkan Arends (2004) mengidentifikasi 5 karakteristik pembelajaran berbasis masalah yaitu :
1)      Pengajuan pertanyaan atau masalah. Guru memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh peserta didik kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang munculnya permasalahan atau pertanyaan.
2)      Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain.Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata dan actual agar dalam pemecahannya, peserta didik dapat meninjau dari berbagi disiplin ilmu yang lain.
3)      Menyelidiki masalah autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan peserta didik melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
4)      Menghasilkan produk atau karya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer
5)      Kolaborasi.Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh peserta didik yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan penyelidikan sehingga dapat  menyelesaikan permasalahan yang disajikan.
Suatu pembelajaran tidaklah lepas dari suatu kekurangan dan kelebihan begitupula dengan Pembelajaran Berbasis Masalah ini. Berikut adalah kelebihan dan kelemahan Model Pembejaran Berbasis Masalah
1)      Kelebihan model pembelajaran berbasis masalah :
a)      Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b)      Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi siswa.
c)      Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d)     Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana m entrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e)      Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f)       Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
g)      Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
h)      Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
i)        Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar.
2)      Kelemahan model pembelajaran berbasis masalah :
a)      Kondisi kebanyakan sekolah yang masih kurang kondusif untuk pendekatan model pembelajaran berbasis masalah dalam hal sarana dan prasarana
b)      Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving memerlukan waktu yang cukup lama untuk persiapan.
c)      Model pembelajaran berbasis masalah tidak mencakup semua informasi dan pengetahuan dasar. Peserta didik tidak dapat memperoleh pemahaman materi secara keseluruhan.










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Keaksaraan adalah suatu program yang dibuat oleh LSM atau diprogram oleh orang Pendidikan Luar Sekolah. Program keaksaraan peserta didik diajarkan untuk menggenal huruf latin, belajar membaca, menulis dan berhitung. Sedangakan Keaksaraan Funsional adalah suatu program dimana peserta didik diajarkan untuk melek huruf, dan dapat mengimplimentasikan kemampuanya yang dimilikinya dalam pembelajaraan Keaksaraan Fungsional di kehidupan sehari-hari serta sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Berberapa masalah yang dihadapi oleh program keaksaraan Fugsional seperti ketidak hadiran peserta didik dikareanakan pola fikir mereka tentang ketidak bermanfaatan KF yang akan dikuti. Lebih memikirkan pekerjaan dari pada kemampuanya untuk berkembang. Padahal kemampuan membaca, menulis dan berhitung di era reformasi ini sangatlah penting agar kita tidak sampai tertinggal informasi dan perkembangan, serta kita dapat menyelesaikan masalah kita.
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan peserta didik memecahkan masalah dengan menghadapkan peserta didik pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontruktivis. Prinsip utama pendekatan kontruktivis adalah ilmu pengetahuan tidak dibangun secara pasif (guru menerangkan, peserta didik mendengarkan), tetapi peserta didik dituntut untuk aktif dan berpikir kritis, analitis. Implementasi model pembelajaran berbasis masalah tidak kita sadari sebenarnya telah diterapkan pada proses pembelajaran kita sehari-hari. Program Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah adalah suatu Program Keaksaraan Fungsional dengan pembelajaran berbasis masalah, dimana peserta didik diajarkan kemampuan dalam membaca, menulis, dan berhitung berdasarkan masalah yang dihadapi olehnya pesertadidik dan lebih kearah (real word).




















DAFTAR RUJUKAN

Dep. 2013. Ribuan Warga Buta Aksara. (Online, JPN.COM, 03 Maret 2013)
Liputan 6.Com (Online, Memoriam.Perempuan-perempuan.2009-Liputan6/Blog.Liputan6/ YouTube.Com diakses  03 ‎Maret ‎2013)
Moedzakir, Djauzi. Metode Pembelajaran untuk: Program-Program Pendidikan Luar Sekolah.2010.Malang : UM PRESS
Nurcahya, Fikri. 2011. Keaksaraan Fungsional. Tugas Jurnal (Online, http://us.data.toolbar.yahoo.com/bh/v3/epa/?.sc=&.tc=&.intl=us&.cv=2.5.9.20130409112616&url=http%3A//jurnaltugas.blogspot.com/search/label/keaksaraan&error=2152398878, diakses 25 ‎Februari ‎2013)
Ridwan, Mohammad. 2013. Diduga Akibat Penyimpangan Program Keaksaraan Fungsional (Online, http://Diduga Akibat Penyimpangan Program Keaksaraan Fungsional//LENSAINDONESIA.COM diakses 03 Maret 2013)
Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran : Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif  dan Berkualitas. Jakarta : Kencana Pronada Media Group.
UUD 1945.2002 (yang telah diamandemen, Amandemen ke 4). Penerbit APOLLO Surabaya.
UU Sisdiknas RI Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3.