Minggu, 01 Desember 2013

Memaksimalkan KF dengan "PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL BERBASIS MASALAH"

PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL BERBASIS MASALAH

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Bahasa Indonesia Keilmuan
yang dibina oleh Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd 

Oleh:
Auliya Aziza  
120141411477




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
April 2013




BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Dewasa ini, buta aksara di negara kita ini, Indonesia, semakin meningkat. Buta aksara ini tidak hanya di alami masayrakat yang berada diluar Pulau Jawa  yang jauh dari pengawasan para menteri yang ada di Ibu Kota, tapi juga dialami oleh masayrakat yang berada di luar Jawa. Diungkapkan Kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan (Disdik) Pamekasan Halik bahwa jumlah warga buta huruf di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur mengalami peningkatan. Sesuai dengan di data Dinas Pendidikan setempat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah buta huruf mencapai 60.972 orang dari sebelumnya hanya 33.436 orang (LENSAINDONESIA.COM, 2013).
Keaksaraan Fungsional adalah sebuah usaha pendidikan luar sekolah dalam membelajarkan warga masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki mampu menulis, membaca dan berhitung untuk tujuan yang pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, untuk peningkatan mutu dan taraf hidupnya (Jurnaltugas.blogspot.com, 2013). Jadi, Buta aksara dapat diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk membaca dan menulis, dan buta aksara ini akam mengantar seorang individu ataupun masayrakat ke sebuah ketertinggalan. Sebab membaca dan menulis adalah dasar dan merupakan salah satu kunci untuk memperoleh pengetahuan dan informasi.
Keterbatasan dalam ilmu dan informasai ini membuat masayrakat sering kali mendapat masalah mulai dari hal kecil sampai hal besar, mulai dari kebodohan, ketertinggalan informasi, ekonomi, kemiskinan hinggai terjerat hukum. Seperti kasus yang dialami Mbok yang ditayangkan pada berita Liputan6.Com pada akhir bulan Desember 2009, bahwa Minah petani asal Banyumas Jawa Tengah, nenek tua terjerat hukum karena beliau mengambil tiga buah kakao yang jatuh, dari pohonya untuk dijadikan bibit. Namun beliau dilaporkan oleh mandor yang mengetahuinya. Dan akhirnya belaiu sampai di meja hiaju dan dijatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari. Mbok Minah Yang buta aksara dan tidak mengerti hukum sehingga beliau terjerat hukum(Liputan6/Youtobe.Com, 2009).
Salah satu cara memberantas buta aksar adalah dengan keaksaraan funsional. Pemerintah memberikan dana dan juga membuat program-program melalui LSM ataupun melalui dikti. Buta aksara harus diberantasa guna menjalankan tujuan pemerintah dan UUD seperti yang tertera dalam pembukaan UUD pada alenia ke 4 yaitu “...mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Serta sesuai UU Sisdiknas RI Nomor 20 Tahun 2003 yaitu pada Bab II, Pasal 3. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut: pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain sebagai tujuan buta aksara adalah salah satu penentu dalam keberhasailan suatu bangasa. Sebab buta aksara salah satu indikator pembagunan sumber daya manusia/ indek pembangunan manusia (PMI).
Keaksaraan fugsional adalah salah satu cara memberantas buta kasara. Sebab buta aksara adalah suatu cara atau pendekatan untuk membantu dan mengembangkan kemampuan warga belajar dalam menguasai dan ketrampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari, dengan memanfaatkan potensi pengalaman yang dimilki oleh pesetra didik. Namun keaksaraan fungsional yang dewasa ini diberikan oleh LSM saat ini belum maksimal dan merata beberapa daerah tingkat buta aksara masih tinggi dalam sebuah media masa (JPNN.COM, 2013) menuliskan di daerah Cimahi, buta aksara di Kota Cimahi mencapai 3.000 orang sesuia dengan diungkapkan. Ketua Forum Keaksaraan Jawa Barat, Tita Sutarsih menyebutkan, “tidak hanya di Kota Cimahi, penambahan jumlah buta aksara di daerah lainnya pun sama. Seperti di Kabupaten Tasikmalaya, pada tahun 2009, jumlah buta aksara sekitar 8.000, dan tahun ini naik dua kali lipat menjadi sekitar 16.000 orang. Hal ini menunjukan bahwa keaksaraan fungsional yang dilaksanakan belum maksimal” (JPNN.COM, 2013).
Kegagalan keaksaraan fungsional ini disebabkan beberapa faktor yaitu kurang  yaitu faktor ekonomi, faktor pemikiran masayrakat tentang keaksaraan funsional yang diangap tidak bermanfaat dan ketidak cocokan metode yang digunakan oleh pendidik atau tutor dalam melaksanakan keaksaraan fugsional tersebut. Untuk dapat memaksimalkan keaksaraan fungsional ini dapat menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaraan berbasis masalah adalah suatu pembelajaraan dimana peserta didik dituntut untuk belajar melalui cara menyelesaikan masalah yang dialami secara kritis dan mandiri. Menurut Barrows & Kelson (dalam  Riyanto : 2010: ) menuliskan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri, dan menuntut ketrampilan berpartisipasi dalam tim yang dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan. Pembelajaran berbasis masalah ini betujuan agar keaksaraan funsional dapat mengatasi masalah dari buta aksara selain memberantas buta aksara itu sendiri seperti ketertinggalan informasi ilmu dan penyelesain masalah yang dihadapi yang dialami dengan menerapkan langsung masalah-masalah tersebut.

B.       Rumusan Masalah
1.             Bagaimana hakikat dari Keaksaraan Fungsional?
2.             Apa saja masalah dalam aplikasi Keaksaraan Fungsional
3.             Bagaimana wujud Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah

C.       Tujuan
1.        Mendiskripsikan hakikat Keaksaraan Fungsional
2.        Mendiskripsikan masalah dalam aplikasai keaksaraan fungsional
3.        Mendiskipsikan wujud Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Keaksaraan Fungsional
Keaksaraan adalah sebuah progaram yang dibuat oleh lembaga pendidikan nonformal seperti PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Program keaksaraan ini dijalankan oleh PLS (Pendidikan Luar Sekolah) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyrakat). Program keaksaraan dulunya dikenal sebagai PBH (Pemberantasan Buta Huruf) Progaram keaksaraan dibuat unutuk memberantas buta huruf dari masyrakat. Buta aksara di atrikan sebagai ketidak mampuan untuk membaca, menulis dan menghitung (calistung). Moedzakir (2010:31) mengartikan “Keaksaraan sendiri adalah sebuah program pemberantasan buta huruf atau dulunya disebut lebih dikenal dengan PBH (Pemberantasan Buta Huruf)”.  Dari arti tersebut dapat disimpulkan bahwa buta huruf atau buta aksara adalah sebuh ketidak mampuan untuk membaca, menulis dan berhitung huruf latin. Pada program keaksaraan peserta didik diajarkan untuk menggenal huruf latin, belajar membaca, menulis dan berhitung.
Program Keaksaraan sudah ada sebelum masa kemerdekaan oleh seperti promgram pendidikan yang diberikan oleh para penjajah seperti sekolah rakyat. Pada masa awal kemerdekaan keaksaraan merupakan salah satu program nasional sehubungan dengan kenyaataan bahwa sebagian masayrakat indonesia pada waktu berda pada kondisi buta huruf, lebih khusunya masayrakat menegah kebawah. Progaram ini merupakan garapan yang sangat besar dan serius dilaksanakan. Program ini dijalakan cukup lama mulai dari order lama hingga order baru, hal ini terkait dengan masih tingginya jumlah masayrakat yang masih mengalamin buta huruf. pada masa order  program ini dilaksanakan pad dengan pendekatan kelompok kerja di bawah tanggung  jawab  Pendidikan Masayrakat. Keaksaraan Fungsional pada masa order baru dinaugi Depdikbub (Departeman Pendidikan dan kebudayaan), adanya perubaha struktur  Depdikbud diubah menjadi Direktorat pendidikan Masyrakat dibawah naugan  Ditjen PLSPO (Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Pemudan dan Olahraga). Saat ini program ini masaih dibawah naugan Direktorat Pendidikan Masyrakat  tetapi nama direktorat jendral berubah menjadi ditjen Pendidikan Formal dan Informal (PNFI). Moedzakir (2010:31).
Moedzakir (2010:31) menagungkapkan “Program Keaksaraan saat ini lebih dikenal dengan Keaksaraan  Fungsional atau KF dan di tataran internasional disebut Literacy Program”.  Sesuai dengan namannya perkembangan Program Keaksaraan disisni berkembang lebih lanjut yaitu tidak hanya mengajarkan cara membaca, menulis dan berhitung saja. Sehingga Keaksaraan brkembang menjadi Program Keaksaraan Fungsional, di program ini peserta didik diajarkan untuk melek huruf, dan dapat mengimplimentasikan kemampuanya yang dimilikinya dalam pembelajaraan Keaksaraan Fungsional di kehidupan sehari-hari. Kemampuan dalam membca, menulis, dan menghitung sangatlah berfungsi dan dibutuhkan dikehidupan sehari-hari masyarakat, maka dengan Keaksaraan Fungsional diharapkan kemampuan membaca menulis dan menghitung masayrakat yang telah melek aksara dan diterapkan serta berguna bagi kehidupan sehari-hari.

B.     Masalah dalam Aplikasi Keksaraan Fungsional
Dewasa ini Keaksaraan Fungsional telah berkembang pesat dan di tiap daerah paling tidak terdapat satu lembaga yang mengadakan program tersebut. Namun, semakin berkembangnya keaksaraan Fungsional Aplikasinya semakin mengalami kemunduruan dalam pelaksanaanya. Berbagai masalah timbul didalam pelaksanaan program ini.
Seperti masalah beberapa peserta didik tidak hadir pada pelaksanaan Keaksaraan Funsional, padahal peserta tersebut telah terdata bahwa mengalami buta huruf dan harus mengikuti keaksaraan fungsional. Hal ini disebabkan oleh beberapa pola pandang masayrakat tentang KF sendidri. Adanya pandangan program ini tidaklah diangap memiliki manfaat apapun bagi kehidupan keseharian dan hanyalah membuang waktu. Sehingga muncul pandangan bahwa  kemampuan yang diajarkan tidaklah penting yang penting adalah bekerja saja. Dan pada akhirnya mereka memilih istirahat saja atau bekerja saja daripada harus datang ke acara KF.
Padahal hal tersebut sangatlah salah, karena program keaksaraan Funsional dirancang untuk mengaplikasikan kemamapuan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-hari. Menurut  Moedzakir (2010:170) bahwa pentingnya program Keaksaraan sesungguhnya cukup jelas, dibutuhkan untuk menerima informasi dan ilmu. Pada era informasi seperti saat ini ledakan informasi tengah terjadi sangat dahsyat. Seluruh media menjadi sumber informasi. Surat kabar telah merambah keseluruh plosok tanah air dan televisi telah masuk hampir ke semua rumah. Informasi yang tersebar menggandung suatu wawasan yang akan diserap oleh masayrakat sebagai khalayak penerima informasi. Ketika sesorang dengan wawasan yang luas maka dia akan dapata melakukan sesuatu yang lebih dibandingkan oleh orang yang kurang wawasan.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan pula bahwa  orang yang dapat memahami informasi, dapat melakukan banyak hal yang lebih dalam berbagai hal seprti menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh seseorang. Mulia dari masalah sosial, hukum, politi dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan Moedzakir (2010:170) “dalam waktu yang bersamaan, orang yang berwawasan lebih luas dapat melakukan lebih banyak hal ketimbang yang berwawasan lebih sempit, karena itu dapat dipahami mengapa komunitas yang hidup dalam berbagai keterbatasan kemampuan keaksaraan lebih banyak menyia-yiakan waktu padahal waktu merupakan kesempatan yang sebenarnya berharga. Demikian selanjutnya orang yang berwawasan sempit . Orang yang berwawasan luas tampak lebih produktif ketimbang orang yang berfikir sempit...”.
Pada dasarnya banyak masalah yang dihadapi masayrakat disebabakan mereka ketinggalan tentang suatu informasai dan perkembangan yang ada di masa saat ini, dikarenakan tidak dapat membaca. Seperti kasus yang dialami ole nenek tua yang bernama Mbah. Minah  seorang nenek yang diseret ke mejah hijau lantaran menemukan 3 bauah kakao yang dibawa pulang untuk dibuat bibit, namun dia terjerat hukum kareana hal tersebut sebab pembawaan pulang  buah kakao ini adalah sebagai pencurian, sehingga nenek buta huruf ini mendapatkan hukuman percoban satu bulan limabelas hari. Berita kasaus tentang Mbah. Minah ini adalah salah satu bukti bahwa keaksaraan itu adalah sangat penting dan  sangatlah berguna. Serta hal tersebut telah menujukan bahwa orang yang buta aksara akan tertinggal oleh informasi dan sulit untuk menyelesaikan masalah.
Selain pola pandang masayrakat yang menjadi masalah ketidak maksimalan Program Keaksaraan Fungsionalan ada juga masalah dalam sistem pembelajaran yang dilakukan oleh progremmer atau perancang program tersebut.  Seperti program pembelajaran yang hanya berdasarkan  kelompok belajar (kerja) saja yang akan membuat orientasi setelah keluar dari Program mereka akan hanya bingung dan memilih kerja yang sesuai dengan diajarkan pada Program Keaksaraan Fungsional dan ketika dia tidak menjumpai pekerjaan yang sesuai, sehingga mereka menggangur ataupun bekerja serabutan yang kurang bisa meemnuhi kebutuhan.  Sistem pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan ini membuat kemintan masyarakat terhadap Program Keaksaraan Fungsional.

C.    Keksaraan Fungsional Berbasis Masalah
Berbagai kendala yang dihadapi dalam aplikasi penerapan Keaksaraan Fungsional seperti ketidakhadiran peserta karena anggapan tidak bergunanya Program Keaksaraan Fungsional dan ketidak tepatan sistem pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan belajar dari peserta didik.  Hal ini dapat di selaesaikan dengan adanya Program Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah. Program keaksaraan Berbasis Masalah adalah pemberantasan buta aksara dengan sistem pembelajaran berbasis masalah.
Barrows & Kelson (dalam Riyanto:2010:285) menggungkapkan bahwa “pembelajaran Berbasis Masalah adalah Suatu model pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri, dan menuntut ketrampilan berpartisipasi dalam tim yang dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan sementara Boud & Faletti (dalam Riyanto:2010:285) berpendapat bahwa “suatu pendekatan ke arah penataan pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk menghadapi permasalahan melalui praktik nyata sesuai dengan kehidupan sehari-hari”. Dan Duch (dalam Yatim:2010:285) mengungkapkan bahwa “suatu metode pembelajaran yang memberi peserta didik pada tantangan ‘belajar untuk belajar’ untuk aktif berkelompok dan mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Model ini mengembangkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis “.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan peserta didik dalam memecahkan masalah dengan menghadapkan peserta didik pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran.Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontruktivis. Dalam model pembelajaran ini, guru berperan mengajukan permasalahan nyata, memberikan dorongan, memotivasi dan menyediakan bahan ajar, dan fasilitas yang diperlukan peserta didik untuk memecahkan masalah.
Selain itu guru memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual peserta didik. Prinsip utama pendekatan kontruktivis adalah ilmu pengetahuan tidak dibangun secara pasif (guru menerangkan, peserta didik mendengarkan), tetapi peserta didik dituntut untuk aktif dan berpikir kritis, analitis. Model Keaksaraan Fungsional dengan Basis Masalah adalah dimana peserta didik yang buta aksara diajarkan bagaimana cara membaca, menulis, dan berhitung sesuai dengan  masalah yang dihadapinya, sehingga dia merasa tertarik dan lebih bersemangat dalam melaksanakan kegitan pembelajaran tersebut.
Aplikasi pembelajaran Berbasis masalah dalam Program Keaksaraan Fungsional dilakukan dengan cara pengidentifikasian kebutuhan belajar seperti  masalah yang dihadapi oleh pesertadidik. Sosialisai dan pendekata dilakukan dimulai dari awal perencanaan rancangan program tersebut sehingga peserta didik aktif dan ikut berkontribusi dalam perancangan yang mereka inginkan.
Karatersitik  pembelajaran Berbasis Masalah menurut Rideout (dalam Riyanto, 2010:287) karateristik Pembelajaran berbasis masalah antara lain:
1)      Suatu kurikulum yang disusun berdasarkan masalah relevan dengan hasil akhir pembelajaran yang diharapkan bukan berdasarkan topik atau bidang ilmu dan,
2)      Disediakan kondisi yang dapat memfasilitasi kelompok belajar/ belajar secara mandiri atau kolaborasi  menggunakan pemikiran kritis, dan membangun semangat untuk belajar seumur hidup.
Sedangkan Arends (2004) mengidentifikasi 5 karakteristik pembelajaran berbasis masalah yaitu :
1)      Pengajuan pertanyaan atau masalah. Guru memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh peserta didik kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang munculnya permasalahan atau pertanyaan.
2)      Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain.Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata dan actual agar dalam pemecahannya, peserta didik dapat meninjau dari berbagi disiplin ilmu yang lain.
3)      Menyelidiki masalah autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan peserta didik melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
4)      Menghasilkan produk atau karya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer
5)      Kolaborasi.Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh peserta didik yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan penyelidikan sehingga dapat  menyelesaikan permasalahan yang disajikan.
Suatu pembelajaran tidaklah lepas dari suatu kekurangan dan kelebihan begitupula dengan Pembelajaran Berbasis Masalah ini. Berikut adalah kelebihan dan kelemahan Model Pembejaran Berbasis Masalah
1)      Kelebihan model pembelajaran berbasis masalah :
a)      Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b)      Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi siswa.
c)      Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d)     Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana m entrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e)      Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f)       Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
g)      Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
h)      Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
i)        Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar.
2)      Kelemahan model pembelajaran berbasis masalah :
a)      Kondisi kebanyakan sekolah yang masih kurang kondusif untuk pendekatan model pembelajaran berbasis masalah dalam hal sarana dan prasarana
b)      Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving memerlukan waktu yang cukup lama untuk persiapan.
c)      Model pembelajaran berbasis masalah tidak mencakup semua informasi dan pengetahuan dasar. Peserta didik tidak dapat memperoleh pemahaman materi secara keseluruhan.










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Keaksaraan adalah suatu program yang dibuat oleh LSM atau diprogram oleh orang Pendidikan Luar Sekolah. Program keaksaraan peserta didik diajarkan untuk menggenal huruf latin, belajar membaca, menulis dan berhitung. Sedangakan Keaksaraan Funsional adalah suatu program dimana peserta didik diajarkan untuk melek huruf, dan dapat mengimplimentasikan kemampuanya yang dimilikinya dalam pembelajaraan Keaksaraan Fungsional di kehidupan sehari-hari serta sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Berberapa masalah yang dihadapi oleh program keaksaraan Fugsional seperti ketidak hadiran peserta didik dikareanakan pola fikir mereka tentang ketidak bermanfaatan KF yang akan dikuti. Lebih memikirkan pekerjaan dari pada kemampuanya untuk berkembang. Padahal kemampuan membaca, menulis dan berhitung di era reformasi ini sangatlah penting agar kita tidak sampai tertinggal informasi dan perkembangan, serta kita dapat menyelesaikan masalah kita.
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan peserta didik memecahkan masalah dengan menghadapkan peserta didik pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontruktivis. Prinsip utama pendekatan kontruktivis adalah ilmu pengetahuan tidak dibangun secara pasif (guru menerangkan, peserta didik mendengarkan), tetapi peserta didik dituntut untuk aktif dan berpikir kritis, analitis. Implementasi model pembelajaran berbasis masalah tidak kita sadari sebenarnya telah diterapkan pada proses pembelajaran kita sehari-hari. Program Keaksaraan Fungsional Berbasis Masalah adalah suatu Program Keaksaraan Fungsional dengan pembelajaran berbasis masalah, dimana peserta didik diajarkan kemampuan dalam membaca, menulis, dan berhitung berdasarkan masalah yang dihadapi olehnya pesertadidik dan lebih kearah (real word).




















DAFTAR RUJUKAN

Dep. 2013. Ribuan Warga Buta Aksara. (Online, JPN.COM, 03 Maret 2013)
Liputan 6.Com (Online, Memoriam.Perempuan-perempuan.2009-Liputan6/Blog.Liputan6/ YouTube.Com diakses  03 ‎Maret ‎2013)
Moedzakir, Djauzi. Metode Pembelajaran untuk: Program-Program Pendidikan Luar Sekolah.2010.Malang : UM PRESS
Nurcahya, Fikri. 2011. Keaksaraan Fungsional. Tugas Jurnal (Online, http://us.data.toolbar.yahoo.com/bh/v3/epa/?.sc=&.tc=&.intl=us&.cv=2.5.9.20130409112616&url=http%3A//jurnaltugas.blogspot.com/search/label/keaksaraan&error=2152398878, diakses 25 ‎Februari ‎2013)
Ridwan, Mohammad. 2013. Diduga Akibat Penyimpangan Program Keaksaraan Fungsional (Online, http://Diduga Akibat Penyimpangan Program Keaksaraan Fungsional//LENSAINDONESIA.COM diakses 03 Maret 2013)
Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran : Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif  dan Berkualitas. Jakarta : Kencana Pronada Media Group.
UUD 1945.2002 (yang telah diamandemen, Amandemen ke 4). Penerbit APOLLO Surabaya.
UU Sisdiknas RI Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3.




Sabtu, 30 November 2013

Praktek Lembaga PAUD “PLAY GRUP PKK SAROJA” Masalah dan Solusi

Dewasa ini PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) berkembang  pesat. Seiring dengan perkembangan tersebut banyak mendirikan Pos PAUD yang menerima peserta didik usia 0-6 tahun maupun Play Grup yang menerima peserta didik pada usia 3-4 tahun saja. Pendirian lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan pendidikan anak usia dini dan menindaklanjuti adanya ilmu dan toeri tentang pengetahuan, bahwa kemampuan anak dalam hal menyerap ilmu pada usia dini sangatlah maksimal dan bagus. Masa ini disebut sebagai Golden Age. Paud sendiri masuk dalam kajian Pendidikan Non Formal. Di Indonesia Lembaga PAUD sudah berkembang sangat baik mulai dari kota hingga desa. Namun masih ada beberapa masalah yang timbul yang menjadi hambatan lembaga untuk berkembang.



Seperti yang dialami oleh lembaga PAUD: Play Grup PKK Saroja yang berlokasi di Jln. Kertapati, desa Kedung sumur, Kec. Kerembung Sidoarjo. Play Grup yang berdiri pada tahun 2008 setelah  satu tahun sebelumnya mengajukan surat izin pendidrian lembaga.  Play Grup ini didirikan karena adanya pengetahuan guru tentang adanya Golden Age. Selain itu adanya dorongan bahwa di desa tersebut melihat banyak anak usia dini yang hanya bermain tanpa bimbingan, yang tak jarang permainan tak terarah membuat anak-anak ini salah dalam bersikap maupun cara berfikir mereka. Hal tersebut mendorong Guru di Tk Darma Wanita Persatuan Kedung dan kepala desa mendidrikan Play Grup ini.

Dalam pelaksanaan tersebut masih banyak hambatan-hambatan yang di alami oleh Play Grup ini, seperti sarana prasarana yang belum memadai walaupun pemerintah telah memberi bantuan, setelah pihak Play Grup mengajukan proposal ke dinas Paudni, ada juga masalah pada pengajaranya seperti menghadapi peserta didik yang hiperaktif namun hal tersebut dapat diatasi oleh guru dengan kekreatifan menciptakan suasana belajar yang enjoy dan tertarik pada proses pembelajaran. Agar tidak terjadi kejenuhan, pengajar membuat sistem pembelajaran dengan jadwal  pertemuan tiga kali seminggu yaitu senin, kamis dan sabtu dengan Rancangan Pembelajaran Mingguan (RPM). RPM sendiri adalah sebuah rancangan pembelajaran yang dibuat untuk laporan pembelajaran guru namun disini juga dibuat untuk membuat model pembelajaran yang berbeda tiap pertemuan agar  tidak terjadi kejenuhan.

Ada juga masalah seperti masih kurang sadarnya masayrakat tentang pentingnya pembelajaran pada usia dini pada Play Grup dan akibatnaya kuota/ target jumlah peserta didik dalam kelas, yang berjumlah 25 siswa belum terpenuhi. Tidak hanya karena kesadaran dari orang tua tentang pentingnya pembelajaran pada anak usia didni, tapi juga terdapat kendala biaya dan waktu unuk mengantar peserta didik yang dialami oleh beberapa orangtua muda masa kini. Orang tua muda yang disibukan oleh kegiatan kerja atau mencari nafkah, sehingga mereka tidak memasukan anak mereka dengan alasan bahwa tidak ada yang mengantar dan menjemput ketika peserta didik masuk play grup.

Upaya untuk mengatasi masalah ini guru mengadakan sosialisasi kepada masayrakat melaui wali murid dari TK dan Play Grup selain itu kepala desa dan perangkat desa memberiakan sosialaisasi melalui POSIANDU. Hingga adanya pemberian (insentif) berupa discaount atau potongan harga  daftar kepada calon siswa atau peserta didik di Play Grup ini yang dapat mengajak peserta didik lain, teman,  ataupun saudara untuk masuk ke Play Grup. Namun solusi pemberian insentif dan sosialisasi slema ini belumlah mencapai hasil yang ditargetkan masih belum terpenuhinya kuaota/ target jumlah siswa untuk Play Grup tersebut.

Upaya-upaya dalam menghadapi problem dalam pengajaran sudah sangat bagus namun untuk meyakinkan masayrakat bahwa pendidkan Play Grup sangatlah penting. Sebab dalam Play Grup anak bukan diajarkan langsung untuk belajar seperti anak TK maupun SD, sebab pada Play Grup anak akan diajarkan belajar melaui tugas pada usianya tersebut yaitu bermain. Jadi agar solusi yang dilaksanakan oleh pihak Play Grup dapat maksimal maka sosialisai harus dilaksanakan lebih continue atau berkelanjutan. Sosialisai Golden Age harus dilaksanakan secara  luas, dengan cara mengadakan penyuluhaan atau sosialisai dengan menghadirkan pakar atau pemateri ahli dalam Golden Age. Sosialisai ini di rancang berkelajutan seperti pada sosialisai yang dilaksanakan didalam POSYANDU yang berkelanjutan.
Nantinya dalam program sosialisai ini kita buat sebuah rangkaian inti acara yang pertama materi  Golden Age, tugas perkembangan peserta didik( dimana pada materi ini pemateri menjelaskan tentang tugas anak pada usia Play Grup dimana pada usia mereka didalam Play Grup akan diajarkan pembelajaran dengan bermain bukan 100% belajar membaca dan menulis), dan materi tentang potensi serta kelebihan anak yang mengikuti Pembelajaran Play Grup. Kemudian akan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan pemateri agar orang tua calon peserta didik dapat mengerti apa saja dan betapa pentingnya Pendidikan pada usia dini. Dan dilanjutkan dengan penayangan video tetang play Grup atau anak-anak  yang berhasil atau bekemampuan lebih ketika di mengikuti Play Grup sebelum dia masuk ke TK.

Setelah acara sosialisai telah dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan pihak Paly Grup membuat acara sosialisai di lanjutkan dengan acar lomba seperti fasition show anak, mengambar,mewarnai, menyayi dan menari serta lomba lainya. Pada acara sasarannya khusus untuk anak usia dibawah 6 tahun dengan kisaran bahwa pada usia rentang dibawah 6 tahun sang anak sudah dan belum mengikuti Play Grup. Atau dikatagorikan 3-4 tahun yang nanti pemenangnya juara satu, dua, dan tiga mendapatkan hadiah dapat masuk sekolah tanpa biaya pendaftaran, dan usia 5-6 dapat masuk ke TK tanpa biaya pendaftaran.


Untuk mengatasi masalah ibu muda yang mengalami kesulitan atau hambatan saat memasukan anaknya ke play grup dengan alasan tidak ada yang mengantar dan menjemput  pihak sekolah dapat membuka atau membuat  penjagaan anak yang belum di jemput orang tuanya semacam penitipan. Atau pun membuat jasa antar jemput.









PKBM (PNF) Sebagai Lembaga Mitra BPPNFI


PKBM (PNF) Sebagai Lembaga Mitra BPPNFI

Belajar adalah suatu kegiatan yang seharusnya menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, mungkin itulah salah satu yang mengilhami Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat dengan menitik beratkan keswadayaan, gotong royong dan partisipasi masyarakat itu sendiri, sehingga, menurut Unesco, PKBM merupakan salah satu wadah dalam memberikan kesempatan penuh kepada seluruh komponen masyarakat agar mampu: (a) memberdayakan masyarakat agar mandiri dan berswadaya, (b) Meningkatkan kualitas hidup masyarakat, (c) Pengembangan dan pembangunan masyarakatnya. Dilain pihak, PKBM sebagai bentuk peran nyata masyarakat membantu upaya pemerintah dalam bidang pemerataan pendidikan yang diharapkan bisa menjadi pusat informasi bagi masyarakat yang membutuhkan keterampilan fungsional Hal ini sesuai dengan visi dari Forum Komunikasi PKBM yaitu, mewujudkan PKBM  sebagai  lembaga pendidikan akar rumput yang efektif, yang mampu mengatasi kemiskinan, kebodohan dan membangun kesetiakawanan sosial di seluruh Indonesia.Disamping itu juga berusaha mewujudkan jaringan kerjasama yang positif, konstruktif dan kuat, baik sesama PKBM maupun antara PKBM dengan lembaga usaha, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan lembaga sosial yang ada disekitarnya. Programnya pun juga langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan upaya peningkatan mutu hidupnya.



Seperti program Pendidikan Anak Usia Dini yang diutamakan bagi masyarakat yang kurang mampu, Program pendidikan kesetaraan, Program pendidikan Keaksaraan Fungsional, Program pendidikan kecakapan hidup, Program kelompok belajar usaha, Program taman bacaan masyarakat, Program olahraga dan seni budaya serta Program penyuluhan pertanian, kesehatan, keagamaan dan program pemerintah lainnya yang bisa dikerjasamakan dengan PKBM. Artinya, program tersebut diatas merupakan garapan dari PKBM. Jadi tidak harus dikerjakan semua oleh PKBM, tergantung dengan kondisi dan potensi setempat, kalau memungkinkan itu akan lebih baik. Hal ini segaris dengan konsep yang mengatakan bahwa PKBM merupakan mitra pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui program pendidikan nonformal yang mampu menumbuhkan “Learning society” sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan inovatif dalam mencari berbagai  informasi baru dalam rangka meningkatkan kehidupannya. Berangkat dari konsep itulah PKBM “Insan Madani”  Kabupaten Blitar mencoba menangkap peluang untuk berkiprah di desanya karena masih banyaknya masyarakat yang memerlukan sentuhan pendidikan. Adalah seorang Agus Jamhuri yang tergerak hatinya untuk berbuat bagi masyarakatnya dengan mendirikan PKBM sebagai pusat pembelajaran PAUD, Keaksaraan Fungsional, Pendidikan kesetaraan serta beberapa program pendidikan kecakapan hidup, baik yang mendapat dukungan dana dari pemerintah maupun yang digali secara swadaya. Alkisah,  Desa Mandesan Kec. Selopuro yang berada di wilayah Kabupaten Blitar, Jawa timur pada kurun waktu tahun 1970-1980 merupakan salah satu desa katagori tertinggal, rata-rata masyarakatnya berpendidikan SD/MI saja yang berakibat langsung pada tingkat kesejahteraan ekonominya. Pada tahun 1980-an desa Mandesan pernah mendapat bantuan pemerintah berupa Insentif Desa Tertinggal (IDT), namun belum mampu mengangkat kondisi ekonomi masyarakat dari keterpurukan. Bahkan pada saat krisis ekonomi tahun 1997  hingga sekarang kondisinya belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
Pada tahun 2007 berdirilah sebuah lembaga yang berbasis pemberdayaan masyarakat dengan bentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) "Insan Madani”.  Secara khusus PKBM ini berusaha memfasilitasi masyarakat  untuk mengakses pendidikan yang layak dan bermutu. Dengan kata lain, PKBM hadir untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap mandiri melalui konsep belajar bersama sebagai upaya meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.
Dengan harapan dapat membantu Pemerintah dalam menuntaskan Pendidikan Dasar 9 tahun, Pengentasan Buta Aksara, mengurangi angka pengangguran, ikut membantu mengentaskan kemiskinan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal ini segaris dengan misi PKBM “Insan Madani” yaitu  Terciptanya masyarakat yang berpendidikan, berketerampilan, mandiri serta beriman kepada  Tuhan Yang Maha Esa.
Organisasi dibawah kendali Agus Jamzuli telah beberapa kali meraih penghargaan dari pemerintah ini, mempunyai misi Memberikan pelayanan pendidikan melalui jalur nonformal dan informal secara berkeadilan dan non diskriminatif kepada masyarakat  luas. Artinya, secara umum sasaran program PKBM Insan Madani adalah masyarakat di wilayah kecamatan Selopuro Kab. Blitar yang  memiliki kriteria sebagai berikut ; Masih buta huruf (untuk program keaksaraan), Berusia sekolah (untuk program kesetaraan), Berusia balita (untuk program PAUD), Berusia produktif (17-45 th) untuk program Life Skills, Berasal dari keluarga miskin dan masih menganggur serta Mempunyai komitmen yang kuat untuk belajar.
Keberadaan PKBM “Insan Madani” ditengah-tengah masyarakat bagai oase ilmu pengetahuan yang selalu mendapat respon positif dari masyarakat sekitar Indikatornya setiap program yang diselengarakan oleh lembaga diikuti oleh banyak peminat, salah satu keberhasilannya adalah gencarnya pengurus dalam mensosialisasikan program PKBM sehingga masyarakat memahami dan mendukung, Apalagi sumbangsih PKBM kepada masyarakat desa setempattelah dibuktikan dalam bentuk prestasi meraih Juara Satu Lomba Desa se-Kab. Blitar Tahun 2010 dimana salah satu indikator terbesarnya (40%) adalah kesuksesan dalam pendidikan baik formal maupun nonformal dan atas peran strategis PKBM Insan Madani terhadap Desa Mandesan, ketua PKBM Insan Madani, Agus Jamzuri, SH.I diangkat secara aklamasi menjadi ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) hingga tahun 2013. Upaya nyata yang telah dicapai selama ini tidak terlepas seringnya melakukan konsolidasi dan evaluasi pelaksanaan program secara internal serta aktif menjalin jejaring kemitraan dengan pihak terkait. Salah satunya bekerja sama dengan  Pusat Pelatihan Pertanian/Perikanan Pedesaan Swadaya (P4S) sejak 2007. “Lembaga saya dengan lembaganya Mas Agus (Agus Jamzuri, ketua PKBM. red) mempunyai kemiripin visi dan misi yakni memberdayakan masyarakat miskin yang masih menganggur. Selama menjalin kemitraan saya merasa puas dan enjoy karena kami sama-sama mengedepankan keterbukaan dan profesionalitas.” Kata Mahfud Efendi , Ketua P4S Kabupaten Blitar. “Alhamdulillah, walaupun agak tertatih-tatih kami telah berhasil meluluskan peserta didik program kesetaraan paket A, B dan C. Untuk lulusan program Keaksaraan fungsional, ada yang sudah bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan memanfaatkan keterampilan yang dipelajari sebagai matapencaharian tambahan disamping sebagai petani. Untuk program PAUD, lulusannya tidak mengalami kesulitan ketika harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.” Ujarnya kepada Mediksi.
Masih menurut Agus, usaha mandiri yang ditangani untuk membantu jalannya organisasi adalah beternak ayam petelur dan ayam pedaging yang ditangani oleh beberapa anak asuh yang setiap harinya, disamping ikut program pendidikan kesetaraan juga belajar ilmu agama di pondok pesantren. “Mudah-mudahan dengan bantuan yang kami peroleh bisa membantu kami dalam menyelenggarakan program pendidikan nonformal yang benar-benar terasakan oleh peserta didik, Insyaallah kami akan memanfaatkan bantuan tersebut dengan amanah dan penuh tanggungjawab.” Ujarnya. Begitu juga dengan PKBM lain yang dalam beberapa tahun ini menjadi mitra BPPNFI telah menyelenggarakan berbagai program PNF yang didanai dari bantuan BOP maupun Block grand lainnya, diantaranya seperti PKBM ‘Bahtera Dua’, PKBM ‘Amanah’, PKBM “Cempaka”, PKBM ‘Kusuma Wijaya’ dan PKBM “Bina Abdi Wiyata” Suarabaya, semuanya dengan karakteristiknya masing-masing berbuat untuk memberdayakan masyarakat. Lukas Khambali, Ketua PKBM “Bina Abdi Wiyata” mengatakan bahwa program kecakapan hidup memberi kegiatan positif berupa keterampilan Las, mesin diesel dan menjahit bagi pemuda yang masih menganggur dengan harapan setelah mengikuti program bisa bekerja secara mandiri. “Nantinya mereka akan dimotivasi untuk berusaha bersama dalam wadah prakoperasi, sehingga akan tampak perkembangannya”. Katanya melengkapi keterangannya. Disamping mulai mengerjakan program kecakapan hidup, PKBM “Bina Abdi Wiyata” berkonsentrasi kepada program pendidikan kesetaraan, mengingat minat masyarakat mengikuti program kesetaraan sangat tinggi. Yang jelas masing-masing PKBM memiliki kelebihan sendiri-sendiri dalam berusaha memberdayakan masyarakat pinggiran, hanya belum banyak diketahui oleh masyarakat dan lembaga lintas sektoral lainnya, hal ini dimungkinkan karena masih lemahnya publikasi, para pengelola masih berpikir yang penting program berjalan, bermanfaat bagi masyarakat dan lancar dalam mendapatkan bantuan dana operasional tanpa melihat pentingnya publikasi. Hal inilah kedepan, mungkin perlu ada himbauan kepada PKBM agar dalam laporannya juga menyertakan profil kelembagaannya beserta program, jenis usaha yang ditangani serta cerita sukses (prestasi) dari peserta didik yang telah menyelesaikan program PNF yang dibinanya. “Kalau perlu BPPNFI bekerjasama dengan Forum Komunikasi PKBM untuk mengadakan pertemuan berkala antara lembaga mitra penerima bantuan dana dalam rangka pembinaan kelembagaan sekaligus sebagai media tukar informasi untuk memantau perkembangannya, saya kira semua lembaga mitra akan menyetujui gagasan ini.” Kata Lukas Khambali yang kebetulan juga sebagai ketua Forum Komunikasi PKBM Kota Surabaya. Dengan kata lain, pembinaan PKBM agaknya wajib dilakukan oleh Dinas Pendidikan yang membidanginya agar benar-benar menjadi PKBM yang bisa menjadi tulang punggung bagi terjadinya proses pembangunan melalui pemberdayaan potensi yang ada di sekitar sasaran didik dimana program itu berada. Apalagi, kalau mau jujur Program PNF belum sepenuhnya didukung oleh SDM yang memadai serta dipersiapkan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program. Banyak PKBM  masih mengandalkan tenaga seadanya yang mau dan peduli dengan program PNF tanpa imbalan yang  memadai. disisi lain program PNF belum sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Program belum berbasis pada masyarakat tetapi berorientasi pada anggaran yang disiapkan oleh pemerintah,sehingga habis tahun, habis anggaran, habis program dan tentunya pelaksanaan programnya menjadi tidak melembaga dimasyarat. Untuk itulah melalui pemberdayaan jejaring ini, keberadaan PKBM haruslah menjadi tempat pembelajaran masyarakat tentang berbagai pengetahuan dan keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana dan potensi yang ada di sekitar lingkungannya agar sasaran didik memiliki dan menguasai keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup. “Setiap PKBM punya metode sendiri-sendiri dalam menyelenggarakan program PNF, inilah yang bisa menjadi bahan diskusi dalam pertemuan berkala sekaligus mempererat tali silaturahim dengan BPPNFI sebagai penyalur dana.“ Ujarnya mengakhiri perbincangan dengan Mediksi saat melakukan monitoring dan evaluasi dana program. [Ebas/Mediksi]
Sumber : Drs. Edi Basuki, M.Si

Jumat, 29 November 2013

Konsep Dasar Difusi Inovasi dalam Kajian Komunikasi

Konsep Dasar Difusi Inovasi dalam Kajian Komunikasi



A.    Difusi
Difusi adalah proses dimana inovasi tersebar melalui saluran komunikasi  ke dalam suatu sistem sosial. Hal ini sesui dengan pendapat Hanafi (dalam Rogers: 35) berpendapat proses difusi merupakan proses pengkomunikasian inovasi melalui saluran-saluran dalam waktu tertentu bagi para anggota sistem sosial. Pada proses menyebaran pesan-pesan dari gagasan baru, diperlukan kerjasama antara pemberi pembaharuan dengan peranan pemimpin atau tokoh masyarakat dan masyarakat yang menerima perubahan tersebut.
B.     Inovasi
Inovasi menurut Ragers (dalam reniekurniati.blogspot.com/2010) adalah “an idea, practice, or object perceived as new by the individual.” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu).  Jadi inovasi adalah suatu gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang atau satuan pengguna lain. Sealama itu berkenan dengan perilaku manusia, tidak terlalu dipersoalkan apakah suatu ide itu “secara objektif” baru (seandainya ukuran dengan selang waktu sejak pertama kali digunakan atau ditemukan) atau tidak. Pandangan seseorang tentang kebaruan suatu ide menentukan reaksinya terhadap ide tersebut. apabila ide itu dipandang baru oleh seseorang maka itu adalah inovasi. Proses inovasi adalah proses dijalani seseorang atau seorang/ unit adopsi lain mulai dari pertama kali mengenal inovasi kemudian menyikapi, mengambil keputusan untuk memakai (mengadopsi atau menolaknya dan melakukan penggunaan ide baru). Dari proses inovasi yang terjadi dapat mengakibatkan suatu perubahan sistem sosial yang ada di masyrakat, hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rogers (dalam Hanafi: 1983) bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat sehingga merubah pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.


C.    Difusi Inovasi
Difusi Inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.
Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh partisipan komunikasi dan saluran komunikasi. Saluran komunikasi dapat dikatakan memegang peranan penting dalam proses penyebaran inovasi, karena melalui itulah inovasi dapat tersebar kepada anggota sistem sosial. Pada tahun 1968 dengan jumlah publikasi difusi komunikasi sebanyak 87 buah (8% dari keselurahan) telah menduduki peringkat kedua (setelah tradisi sosiologi pedesaan) dalam tradisi penelitian difusi penelitian ilmu komunikasi. Penelitian difusi telah mulai ada sebelum bidang akademik penelitian komunikasi lahir. Penelitian komunikasi  mulai tumbuh, terutama disekitar kajian tentang tentang effek komunikasi massa hal ini di ungkapkan oleh Rogers(1983:65). Salah satu keuntungan khusus tradisi penelitian komunikasi adalah bahwa dapat menganalisis segala jenis difusi inovasi.
Menurut Rogers (1983) dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan melalui saluran komunikasi tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara anggota-anggota suatu sistem sosial.
1.                 Inovasi (gagasan, tindakan atau barang) yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya.
2.                 Saluran komunikasi, adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
3.                 Jangka waktu, yakni proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang (relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi), dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4.                 Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
D.    Saluran komunikasi
Komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama atau yang biasa disebut mutual understanding antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu (dalam reniekurniati.blogspot.com/2010). Seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa proses divusi inovasi dipengaruhi oleh saluran komunikasi.Dalam tahap-tahap tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi tertentu juga memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi lain.
Ada dua jenis kategori saluran komunikasi yang digunakan dalam proses difusi inovasi, yakni saluran media massa dan saluran antarpribadi atau saluran lokal dan kosmopolit. Saluran lokal adalah saluran yang berasal dari sistem sosial yang sedang diselidiki. Saluran kosmopolit adalah saluran komunikasi yang berada di luar sistem sosial yang sedang diselidiki. Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. Sedangkan saluran antarpribadi dalam proses difusi inovasi ini melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu yang biasanya memiliki kekerabatan dekat.
Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa prinsip sebagai berikut:
a.       Saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tahap persuasi. Hal ini disebabkan saluran komunikasi massa dapat membentuk awareness secara serempak dalam waktu yang dikatakan cukup singkat dibandingkan dengen efek komunikasi antarpribadi.
b.      Saluran kosmopolit lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi.
c.       Saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter). Sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, golongan adopter awal menyukai ide-ide baru tanpa perlu persuasi yang berlebihan sehingga media massa saja sudah cukup membuat mereka mau mengadopsi sebuah inovasi berbeda dengan orang-orang dari golongan adopter akhir, karakteristik mereka yang kurang menyukai risiko menyebabkan komunikasi antarpribadi yang paling bekerja dengan baik. Mereka cenderung melihat atau berkaca pada orang-orang disekitar mereka yang sudah menggunakan inovasi tersebut dan apabila berhasil mereka baru mau mengikutinya.
d.      Saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran lokal bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir
Metode komunikasi massa seperti penggunaan iklan memang dapat menyebarkan informasi tentang inovasi baru dengan cepat tetapi hal tersebut tidak lantas dapat begitu saja membuat inovasi baru tersebut diadopsi oleh khalayak. Hal itu dikarenakan diadopsi tidaknya inovasi baru  terkait dengan masalah resiko dan ketidakpastian. Disinilah letak pentingnya komunikasi antarpribadi. Orang akan lebih percaya kepada orang yang sudah dikenalnya dan dipercayai lebih awal atau orang yang mungkin sudah berhasil mengadopsi inovasi baru itu sendiri, dan juga orang yang memiliki kredibilitas untuk memberi saran mengenai inovasi tersebut. Haltersebut digambarkan oleh ilustrasi kurva dibawah ini yang menggambarkan bahwa komunikasi interpersonal menjadi begitu sangat berpengaruh dari waktu ke waktu dibandingkan dengan komunikasi massa.( online dalam reniekurniati.blogspot.com/2010)



Daftar Rujukan
Hanafi, Abdillah, Floyd.1981. Memasyarakatkan “ IDE- IDE BARU”. Surabaya. Usaha Nasional.

Rogers, Everett. M, penerjemah Abdillah Hanafi. 1983. Difusi Inovasi “ Penyebaran ide-ide baru ke masayrakat” Pusataka Ribadi.

Renie’s. 2010. Difusi Inofasi.  (Online  http://reniekurniati.blogspot.com/2010/11/difusi-inovasi.html diakses pada 12 September 2013)